Legenda Asal Mula Selat Bali - Bali - Cerita Rakyat Nusantara

 Legenda Asal Mula Selat Bali - Bali - Cerita Rakyat Nusantara - Cerita yang cukup menarik dan wajib bagi anda sekalian untuk membacanya, berkisah tentang sejarah asal mula selat bali dilihat dari sisi cerita rakyat atau legenda, selamat membaca:

Selat Bali adalah selat yang memisahkan antara Pulau Jawa dengan Pulau Bali. Untuk menyeberang dari Pulau Jawa ke Pulau Bali melalui Selat Bali ini, yang dihubungkan dengan layanan kapal ferry dengan Pelabuhan Gilimanuk di Pulau Bali dan Pelabuhan Ketapang di Banyuwangi - Pulau Jawa.

Nahh teman-teman tau gak bahwa ada cerita rakyat bali yang mendongengkan kisah asal muasal selat bali ini, begini ceritanya............

Pada dahulu kala, di Kerajaan Daha, Kediri, Jawa Timur, hiduplah seorang brahamana (pendeta) yang bernama Empu Sidi Mantra. Ia seorang pendeta yang kaya raya dan terkenal sakti mandraguna. Selain itu, ia juga memiliki seorang istri yang cantik jelita dan seorang putra yang gagah dan tanpan bernama Manik Angkeran. Meski demikian, pendeta itu tidak bisa hidup tenang dan bahagia, karena anak semata wayangnya, Manik Angkeran, memiliki sifat tidak terpuji, yaitu gemar berjudi. Ia selalu mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya dan berhutang kepada orang lain ketika kalah berjudi. Hal inilah yang membuat Empu Sidi Mantra dan istrinya merasa resah, karena hampir setiap hari orang-orang mendatangi rumahnya untuk menagih hutang putranya. Keadaan tersebut berlangsung hingga bertahun-tahun, sehingga lambat-laun harta kekayaan sang Empu terkuras habis.

Pada suatu sore, Manik Angkeran pulang ke rumahnya dengan nafas tersengal-sengal.
“Bapa, Ibu! Tolong aku!” seru Manik Angkeran.
“Ada apa, Putraku? Apa yang terjadi denganmu?” tanya ibunya dengan perasaan cemas.
“A...a... aku dikejar-kejar orang, Bu!” jawab Manik Angkeran dengan nafas yang masih terengahengah.
“Hmm... kamu pasti kalah berjudi lagi ya!” timpa bapanya.
“Iya, Bapa! Aku kalah berjudi dan tidak sanggup membayar taruhan. Tolong aku, Bapa! Mereka ingin membunuhku,” Manik Angkeran mengiba kepada bapanya.

Tak berapa lama kemudian, datanglah beberapa orang pemuda membawa golok. Mereka berteriak teriak di depan rumah menyuruh Manik Angkeran keluar.
“Hai, Manik Angkeran! Keluar dan bayarlah hutangmu!” teriak salah seorang pemuda sambil mengacung-acungkan goloknya. Manik Angkeran pun semakin ketakutan. Ia segera masuk ke kamarnya untuk bersembunyi. Sementara itu, dengan tenangnya, Empu Sidi Mantra segera menemui para pemuda yang berdiri di depan rumahnya.

“Tenang, wahai Anak Muda! Percayalah, saya akan membayar semua hutang putraku. Tapi, berilah saya waktu tiga hari untuk mencari uang dulu,” pinta Empu Sidi Mantra.
“Baiklah, Empu! Kami menerima permintaan Empu. Tiga hari lagi, kami akan kembali kemari untuk menagih janji Empu,” kata salah seorang pemuda, lalu membubarkan diri bersama teman temannya.

Pada malam harinya, Empu Sidi Mantra berdoa untuk memohon pertolongan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Saat tengah malam, tiba-tiba ia mendengar suara bisikan yang sangat jelas di telinganya.
“Hai, Sidi Mantra! Pergilah ke kawah Gunung Agung! Di sana ada harta karun yang dijaga oleh seekor naga bernama Naga Besukih,” demikian suara bisikan itu.

Keesokan harinya, berangkatlah Empu Sidi Mantra itu ke kawah Gunung Agung. Setelah berjalan cukup jauh dengan berbagai rintangan, sampailah ia di tempat tersebut. Ia pun duduk bersila sambil membunyikan genta (lonceng) saktinya seraya mulutnya komat-kamit menyebut nama Naga Besukih. Tak berapa lama kemudian, naga itu pun keluar dari tempat persembunyiannya.

“Hai, kisanak! Kamu siapa dan ada apa kamu memanggilku?” tanya Naga Besukih itu.
“Saya Empu Sidi Mantra dari Tanah Jambudwiba. Maksud kedatangan saya kemari untuk meminta
bantuanmu,” kata Empu Sidi Mantra.
“Apa yang bisa kubantu, hai Mpu? Katakanlah!” seru Naga Besukih. Empu Sidi Mantra pun mengutarakan maksud kedatangannya. Karena merasa iba, Naga Besukih segera menggeliatkan tubuhnya. Seketika itu pula, emas dan berlian pun berhamburan keluar dari balik sisiknya.

“Bawalah emas dan intan ini Mpu! Semoga cukup untuk membayar hutang-hutang putramu. Tapi, ingat! Jangan lupa untuk menasehati putramu agar dia mau merubah perilakunya!” seru sang Naga.
“Baik, Naga! Terima kasih atas bantuannya,” ucap Empu Sidi Mantra.

Setelah mengambil semua perhiasan emas dan intan tersebut, Empu Sidi berpamitan kepada sang
Naga. Setibanya di rumah, ia langsung memanggil putranya.
“Wahai, putraku Manik Angkeran! Bapa akan memberikan semua emas dan intan ini kepadamu, tapi dengan satu syarat, kamu harus berjanji untuk tidak berjudi lagi,” ujar Empu Sidi Mantra.
‘Baik, Bapa! Manik berjanji untuk tidak berjudi lagi,” ucap Manik Angkeran. 

Empu Sidi Mantra pun percaya begitu saja pada ucapan putranya. Akhirnya, ia menyerahkan semua perhiasan emas dan intan tersebut kepada putranya. Dengan perasaan senang dan gembira, Manik Angkeran segera menjual semua perhiasan emas dan intan tersebut. Setelah itu, ia pergi membayar hutang-hutangnya. Ternyata, uang hasil penjualan emas dan intan tersebut tidak habis digunakan untuk melunasi seluruh hutangnya. Melihat jumlah uang yang masih tersisa begitu banyak, akhirnya ia pun tergiur untuk kembali bermain judi. Dengan uang itu, ia berharap akan menang dan memperoleh uang yang lebih banyak lagi. Tapi, nasib berkata lain, ia kalah berjudi dan uangnya pun habis. Bahkan, ia kembali dililit hutang. Akhirnya, ia kembali ke rumahnya dengan
wajah lesu.

“Bapa! Aku sudah membayar semua hutangku kepada mereka,” kata Manik Angkeran dengan nada
lemas.
“Ya, baguslah kalau begitu! Tapi, kenapa wajahmu tampak kusut begitu?” tanya bapanya heran.
“Maafkan aku, Bapa! Tadi aku bermain judi dan berhutang lagi,” jawab Manik Angkeran sambil menundukkan kepalanya.
“Apa katamu! Dasar anak keras kepala, tidak mau mendengar nasehat orang tua!” bentak bapanya.
“Maafkan aku, Bapa! Tolong bantu aku sekali ini saja, Bapa!” Manik Angkeran mengiba di hadapan ayahnya.
“Tidak! Bapa tidak dapat membantumu lagi. Bayar sendiri hutang-hutangmu itu!” seru bapanya dengan wajah memerah.

Manik Angkeran pun tidak bisa berbuat apa-apa. Ia kebingungan mencari cara untuk membayar hutang-hutangnya. Di tengah kebingungannya, tiba-tiba ia teringat bahwa bapanya memperoleh perhiasan emas dan intan di kawah Gunung Agung. Ia pun nekad mencuri genta milik bapanya, lalu pergi ke kawah gunung itu. Setibanya di sana, ia bingung lagi karena tidak mengerti doa dan mantra yang harus diucapkan. Akhirnya, ia mencoba membunyikan genta itu tanpa mengucapkan mantra. Setelah beberapa kali membunyikannya, tiba-tiba seekor naga besar keluar dari sarangnya dan menghampirinya.

“Ampun, Naga! Jangan memangsaku!” pinta Manik Angkeran.
“Hai, Anak Muda! Kamu siapa? Kenapa kamu membunyikan genta itu tanpa membaca mantra?” tanya Naga Besukih.
“A... a... Aku Manik Angkeran, putra Empu Sidi Mantra,” jawab Manik Angkeran dengan gugup.
“Hai, Manik Angkeran! Ada apa engkau memanggilku dengan genta yang kau curi dari bapamu itu?” tanya Naga Besukih. Manik Angkeran pun menyampaikan maksud kedatangannya. Ia mengiba kepada Naga Besukih agar ia diberikan harta yang melimpah untuk membayar hutang-hutangnya.

“Naga! Kasihanilah Aku! Orang-orang akan membunuhku jika tidak segera membayar hutangku kepada mereka,” Manik Angkeran kembali mengiba. Melihat kesedihan Manik Angkeran, sang Naga pun merasa kasihan kepadanya.
“Baiklah! Aku akan membantumu, tapi kamu harus berjanji untuk berhenti berjudi,” ujar Naga Besukih.
Setelah itu, sang Naga segera membalikkan badannya hendak mengeluarkan emas dan intan melalui sisik ekornya. Begitu ia hendak menyetakkan ekornya, tiba-tiba Manik Angkeran segera menghunus kerisnya dan memotong ekor naga itu. Tak ayal lagi, Naga Besukih pun meronta-ronta dan menjerit kesakitan. Ketika ia membalikkan badannya, Manik Angkeran telah pergi membawa ekornya yang penuh dengan emas dan intan itu. 
Ia berusaha untuk mengejarnya, namun putra Empu Sidi Mantra itu sudah menghilang entah ke mana. Ia hanya menemukan bekas tapak kakinya. Maka dengan kesaktiannya, ia membakar tapak kaki itu. Manik Angkeran yang telah pergi jauh meninggalkan kawah Gunung Agung pun merasakan kedua telapak kaki terasa panas, dan lama kelamaan seluruh tubuhnya terbakar hingga akhirnya menjadi abu.

Sementara itu, di Kerajaan Daha, Empu Sidi Mantra dan istrinya sedang gelisah, karena anak semata wayang mereka menghilang. Mereka sudah mencarinya ke mana-mana, tapi tidak juga menemukannya.

“Pa! Ke mana perginya putra kita? Kita sudah mencarinya ke mana-mana, tapi tak seorang pun warga yang tahu keberadaannya?” tanya istri Empu Sidi Mantra dengan perasaan cemas. Empu Sidi Mantra hanya terdiam sambil berpikir. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia tersentak kaget.
“Wah, jangan-jangan putra kita pergi ke Gunung Agung,” kata Empu Sidi Mantra.
“Kenapa Bapa bisa berpikiran begitu?” tanya istrinya.
“Aku berpikiran demikian, karena putra kita menghilang bersamaan dengan hilangnya genta saktiku. Dia pasti pergi ke kawah itu untuk menemui Naga Besukih,” jawab Empu Sidi Mantra.

Keesokan harinya, berangkatlah Empu Sidi Mantra ke kawah Gunung Agung untuk mencari putranya. Setibanya di sana, ia melihat Naga Besukih sedang gelisah di luar sarangnya.
“Wahai, Naga Besukih! Apakah engkau melihat putraku?” tanya Empu Sidi Mantra.
“Iya, Mpu! Kemarin dia ke sini meminta harta untuk membayar hutang-hutangnya. Namun, ketika aku hendak memberinya harta itu, tiba-tiba ia memotong ekorku, lalu membawanya pergi bersama harta itu,” jelas Naga Besukih.
“Apakah kamu tahu kemana perginya?” Empu Sidi Mantra kembali bertanya dengan perasaan cemas.
“Maaf, Mpu! Kamu tidak usah lagi mencari putramu. Aku telah membakarnya hingga binasa,” jawab Naga Besukih. Betapa terkejutnya Empu Sidi Mantra mendengar berita buruk itu. Ia pun memohon kepada sang Naga agar putranya dihidupkan kembali.
“Maafkan aku dan putraku, Naga! Dia putraku satu-satunya. Aku mohon hidupkanlah dia kembali,” pinta Empu Sidi Mantra.
“Baiklah, Mpu! Demi persahabatan kita, aku akan memenuhi permitaanmu. Tapi dengan satu syarat, kamu harus mengembalikan ekorku,” kata Naga Besukih.

Empu Sidi Mantra pun berjanji untuk memenuhi syarat Naga Besukih. Dengan kesaktiannya, Naga Besukih berhasil menghidupkan kembali Manik Angkeran. Empu Sidi Mantra segera pergi mencari putranya. Setelah sekian lama mencari, akhirnya ia pun menemukan putranya di sebuah hutan lebat, dan kemudian mengajaknya kembali ke kawah Gunung Agung untuk menemui dan mengembalikan ekor Naga Besukih.

Setibanya di kawah Gunung Agung, Empu Sidi Mantra segera mengembalikan ekor Naga Besukih seperti semula. Setelah itu, ia bersama naga itu menasehati putranya agar benar-benar mau merubah perilakunya. Manik Angkeran pun sadar dan berjanji untuk mengikuti nasehat mereka. Sebagai hukuman, ia harus tinggal di sekitar Gunung Agung.

Akhirnya, Empu Sidi Mantra pun kembali ke Kerajaan Daha seorang diri. Ketika tiba di Tanah Benteng, ia menorehkan tongkat saktinya ke tanah untuk membuat garis batas antara dia dan putranya. Karena kesaktiannya, bekas torehan tongkatnya bertambah lebar sehingga tergenangi air laut, dan lambat laun tempat itu berubah menjadi sebuah selat. Oleh masyarakat setempat, selat itu dinamakan Selat Bali.

Seru khan  ceritanya Asal Mula Selat Bali. Hikmah dan pembelajaran yang dapat diperoleh dari cerita ini adalah bahwa berjudi merupakan perilaku tidak terpuji yang harus dijauhi.  Pembelajaran lain yang dapat dipetik adalah bahwa sifat gemar berjudi dapat mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan keji seperti menipu, mencuri, dan merampok harta orang lain.

Baca cerita rakyat nusantara lainya yang dapat menambah wawasan dan budi pekerti kita.
= = =  S E L E S A I = = =

Putri Cilinaya dan Raden Panji - Mataram Lombok NTB - Cerita Rakyat Nusantara

Putri Cilinaya dan Raden Panji - Mataram Lombok NTB - Cerita Rakyat Nusantara - Salah satu cerita rakyat kesukaan saya, yang ceritanya sangat menghibur dan dapat memberikan kita pelajaran, bagi kalian yang suka dengan cerita cinta mungkin cerita rakyat ini bakal anda sukai, selamat membaca:

Alkisah pada zaman dahulu, tersebut lah sepasang kerajaan kembar di Nusa Tenggara Barat , yaitu Kerajaan Daha dan Kerajaan Keling. Dikatakan kerajaan kembar karena kedua kerajaan tersebut dipimpin oleh dua raja kakak- beradik. Raja Daha adalah sang kakak sedangkan Raja Keling adiknya. Kedua raja tersebut sama- sama telah menikah, namun belum juga dikaruniai seorang anak. Akhirnya, mereka bersepakat untuk pergi bernazar di puncak Bukit Batu Kemeras yang terletak di antara kedua kerajaan mereka.

Pada hari yang telah ditentukan, Raja Daha dan Raja Keling datang ke puncak bukit tersebut untuk menyampaikan nazar mereka kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Setibanya di sana, Raja Keling yang terlebih dahulu menyampaikan nazarnya.

“Oh, Tuhan! Jika hamba dikaruniai seorang anak, hamba akan membawa daun sirih ke tempat ini!” ucap Raja Keling dengan penuh kayakinan. Mendengar nazar adiknya itu, Raja Daha tersenyum seraya bertanya, 

“Hanya itukah nazarmu, Adikku? Apakah para dewa akan mengabulkan permintaanmu dengan nazarmu yang sangat ringan itu?”
“Entahlah, Kakanda! Yang penting Adinda telah menyampaikan nazar ini dengan niat ikhlas,” jawab Raja Keling. Setelah itu, giliran Raja Daha yang menyampaikan nazarnya. Karena sangat berharap memiliki seorang anak, maka ia menyampaikan nazar yang cukup berat .

“Oh, Tuhan! Kabulkan permintaan hamba ini! Jika hamba dikaruniai seorang anak, hamba akan mempersembahkan seekor lembu berselimut sutera, bertanduk emas, dan berkuku perak di tempat ini!” ucap Raja Daha. Setelah menyampaikan nazar, kedua raja kakak-beradik tersebut kembali ke kerajaan masing-masing.

Sebulan kemudian, masing- masing istri dari kedua raja tersebut diketahui mengandung. Betapa senang hati Raja Daha dan Raja Keling mendengar kabar gembira tersebut . Beberapa bulan kemudian, para permaisuri itu melahirkan dalam waktu yang hampir bersamaan. Istri Raja Keling melahirkan seorang anak laki- laki tampan sehari sebelum istri Raja Daha melahirkan bayi perempuannya yang cantik jelita.

Selang beberapa hari kemudian, Raja Keling dan Raja Daha bersama istri dan anak beserta para pengawal mereka datang ke Bukit Batu Kemeras untuk membayar nazar. Oleh karena rasa syukur yang mendalam, Raja Keling membayar nazar lebih besar dari apa yang dia niatkan, yaitu dengan membawa seekor lembu berselimut sutera, bertanduk emas, dan berkuku perak.

Sementara itu, Raja Daha membayar nazarnya jauh lebih kecil dari apa yang dia niat kan, yaitu hanya membawa seekor lembu biasa. Menurut kepercayaan masyarakat setempat , apa yang dilakukan Raja Daha tersebut merupakan suatu pantangan dan dapat mendatangkan malapetaka baginya.


Ternyata, apa yang diyakini masyarakat tersebut benar- benar terjadi. Di tengah perjalanan pulang, rombongan Raja Daha tiba- tiba dihadang oleh angin puting beliung. Angin itu berputar-putar dan menerbangkan putri Raja Daha. Semakin lama, angin itu semakin jauh menerbangkan sang bayi. Raja Daha dan istrinya tak kuasa menahan tangis karena kehilangan putri semata wayangnya.

Sementara itu, putri Raja Daha yang diterbangkan angin itu akhirnya jatuh di sebuah taman di pinggir danau. Bayi itu kemudian ditemukan oleh sepasang suami istri penjaga taman yang bernama Pak Bangkol dan Bu Bangkol. Mereka mengambil bayi itu untuk dijadikan anak angkat dan memberinya nama Cilinaya.
Waktu terus berjalan. Cilinaya pun tumbuh menjadi gadis yang cantik nan rupawan. Ia adalah gadis yang cerdas. Berbagai ilmu seperti menenun, memasak, dan merangkai bunga yang diajarkan oleh Bu Bangkol kepadanya dapat dikuasainya dengan cepat . Setiap selesai menenun, Cilinaya sering bermain sendiri di taman bunga. Suatu hari, ketika Cilinaya sedang asyik bermain di taman itu, ia bertemu dengan seorang pemuda tampan yang sedang melintas di daerah itu. Rupanya, pemuda itu adalah putra Raja Keling yang bernama Raden Panji. Berawal dari pertemuan itulah hingga akhirnya mereka saling jatuh cinta dan
menikah.
Setelah beberapa lama tinggal di rumah Pak Bongkol, Raden Panji kembali ke Kerajaan Keling untuk memperkenalkan Cilinaya kepada kedua orang tuanya. Ketika itu, Cilinaya sedang hamil tua. Setibanya di istana, Raden Panji menceritakan semua perihal tentang diri dan keluarga Cilinaya kepada ayahandanya.

“Maafkan Nanda, Ayah! Nanda telah menikah tanpa memberitahu Ayahanda sebelumnya. Perkenalkan, ini istri Nanda, Ayah! Namanya Cilinaya. Ia adalah anak penjaga taman,” ungkap Raden Panji di hadapan ayahandanya. Mendengar cerita itu, Raja Keling merasa sangat kecewa karena putranya menikah dengan anak orang biasa. Hal itu tentu saja akan mencoreng nama baik keluaga besar Istana Keling. Meski demikian, Raja Keling tetap menyembunyikan perasaan kecewa itu.
Pada suatu hari, Raja Keling berpura- pura sakit , lalu menyuruh Raden Panji mencarikannya hati kijang ke hutan untuk mengobati sakitnya. Begitu putranya berangkat kehutan, Raja Keling segera memerintahkan patihnya untuk menghabisi nyawa Cilinaya.

“Patih, singkirkan istri Raden Panji dari istana! Aku tidak ingin nama baik keluarga istana ini tercoreng gara-gara mempunyai menantu dari orang biasa!” seru Raja Keling. 
“Baik, Baginda! Perintah Baginda segera hamba laksanakan,” jawab Patih istana.

Bersama beberapa pengawal istana, Patih itu menangkap Cilinaya yang baru saja melahirkan seorang anak laki-laki. Setelah itu, mereka membawa Cilinaya bersama anaknya ke pantai Tanjung Menangis. Sesampainya di bawah sebuah pohon ketapang yang rindang, mereka pun berhenti. Sebelum diakhiri hidupnya, Cilinaya memeluk erat-erat putranya lalu berpesan kepada Patih dan pengawalnya.

“Dengarlah, wahai Tuan-Tuan! Jika darah saya nanti berbau amis berarti itu menandakan bahwa saya adalah anak orang biasa. Namun, jika darah saya berbau harum berarti saya putri seorang raja,” pesan Putri Cilinaya.
Setelah mendengar pesan itu, Patih istana segera menghabisi nyawa Cilinaya dengan sebuah keris. Tak ayal lagi, istri Raden Panji itu pun tergeletak ditanah sambil memeluk bayinya yang sedang menangis. Darah yang menetes keluar di tubuhnya menebarkan bau yang sangat harum. Patih dan para pengawal istana sangat menyesal ketika mencium bau harum itu. Mereka menyesal karena telah menghabisi nyawa Cilinaya yang ternyata adalah seorang putri raja.

Namun, apa hendak dibuat, nyawa Cilinaya tidak tertolong lagi. Mereka pun segera kembali ke istana untuk melaporkan peristiwa itu kepada Raja Keling. Sementara itu, Raden Panji bersama pengawalnya yang kebetulan melintas di daerah itu mendengar suara tangis bayi. Mereka pun segera mencari sumber suara tangis itu. Tak berapa lama kemudian, mereka menemukan seorang perempuan tergeletak sambil memeluk bayi. Raden Panji pun tersentak kaget setelah mengetahui bahwa perempuan itu adalah istrinya. Ia tak kuasa lagi menahan rasa sedih sehingga tak terasa air matanya menetes keluar dari kedua kelopak matanya.

“Oh, Tuhan! Sungguh malang nasib istriku,” rintih Raden Panji. Baru saja Raden Panji mengucapkan rintihan hatinya, tiba-tiba petir menyambar- nyambar. Disela- sela suara petir itu terdengar suara dari langit.
“Wahai, Raden Panji! Buat lah peti untuk istrimu. Setelah itu, kamu hanyut kan dia ke laut . Atas kuasa Tuhan, kelak kalian akan bertemu kembali!” demikian pesan suara itu. Mendengar suara itu, Raden Panji segera memerintahkan para pengawalnya untuk membuat peti lalu memasukkan istrinya ke dalam peti itu. Usai menghanyutkan peti itu ke laut , Raden Panji kembali ke istana dengan menggendong putranya. Ia memberi nama putranya itu Raden  Megatsih.


Sementara itu, di tempat lain, istri Raja Daha sedang mandi di pantai. Ketika melihat sebuah peti hanyut terbawa gelombang, ia segera menyuruh beberapa pengawal istana untuk mengambil peti itu. Alangkah terkejutnya sang permaisuri setelah membuka peti itu. Ia melihat seorang putri cantik terbaring di dalamnya. Putri itu tidak lain adalah Cilinaya yang telah hidup kembali. Akhirnya, ia membawa Cilinaya ke istana dan mengangkatnya sebagai anak.
Beberapa tahun kemudian, Raja Daha mengadakan pesta sabung ayam di istana. Raja Daha  mempunyai seekor ayam jantan sangat tangguh yang belum pernah terkalahkan. Pada pesta kali ini, Raja Daha mempertaruhkan separuh harta kekayaannya. Peserta dari berbagai penjuru negeri pun berdatangan untuk mengalahkan ayam jagoan Raja Daha, tak terkecuali Raden Megatsih yang telah beranjak dewasa. Putra Raden Panji itu juga mempunyai ayam yang sakti.  Saat yang dinanti-nantikan oleh seluruh rakyat Keling pun tiba. Pesta sabung ayam itu segera dimulai. Pesta itu sangat meriah. Para penonton bersorak- sorai menyaksikan pertarungan  ayam- ayam aduan tersebut . Sudah puluhan ayam yang telah beradu, namun belum seekor ayam pun yang mampu mengalahkan ayam jagoan Raja Daha. Kini, giliran ayam Raden Megatsih yang akan beradu dengan ayam Raja Daha. Rupanya, ayam Raden Megatsih sangat sakti sehingga dapat mengalahkan ayam Raja Daha dengan mudah. Setelah memenangkan pertarungan itu, ayam Raden Megatsih berkokok.
“Do do Panji kembang ikok Maya”,
Artinya: “Ayahku Panji, Ibuku Cilinaya.”
Cilinaya yang mendengar dan mengerti maksud kokok ayam itu segera memeluk Raden Megatsih.
“Oh, Putraku! Ketahuilah, aku ini Ibumu, Cilinaya,” ungkap Cilinaya. Raden Megatsih membalas pelukan ibunya dengan erat . Rasa haru pun menyelimuti hati kedua ibu dan anak itu. Setelah itu, Raden Megatsih pulang menemui ayahnya dan menceritakan pertemuannya dengan sang ibu. Alangkah bahagianya hati Raden Panji mendengar berita  gembira itu. Tanpa membuang- buang waktu, Raden Panji bersama putra dan kedua orang  tuanya segera ke istana Kerajaan Daha untuk menemui Cilinaya. Di hadapan Raja Daha dan seluruh keluarga istana Daha, Raden Panji menceritakan semua kisah hidupnya sehingga terungkaplah semua rahasia yang tidak mereka ketahui selama ini. Raja Daha pun mengerti bahwa Cilinaya adalah putrinya yang dulu diterbangkan angin dan ditemukan oleh si penjaga taman. Demikian pula Raja Keling baru menyadari bahwa ternyata menantunya yang pernah ia bunuh itu adalah seorang putri raja yang merupakan kemenakannya sendiri. Ia pun meminta maaf kepada Cilinaya atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Akhirnya, dengan perkawinan Raden Panji dari Kerajaan Keling dengan Putri Cilinaya dari Kerajaan Daha, maka semakin eratlah hubungan kekerabatan antara kedua kerajaan tersebut . Raden Panji dan Cilinaya pun hidup bahagia bersama seluruh keluarganya.

Nahh.. teman-teman pelajaran yang kita dapat  dari cerita di atas di antaranya adalah akibat buruk dari sifat tidak menepati janji. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Raja Daha yang tidak memenuhi syarat janjinya ketika membawa nazarnya. Akibat nya, putrinya yang masih bayi diterbangkan angin puting beliung sehingga mereka harus berpisah, walaupun pada akhirnya mereka bertemu kembali. Pesan lainnya adalah bahwa hendaknya kita tidak meremehkan orang lain sebelum mengenal lebih dalam tentang jati diri orang itu. Sifat ini terlihat pada Raja Keling yang mengira Cilinaya berasal dari keluarga orang biasa.

Baca juga cerita pendek nusantara lainya yang ada di blog cerita ini.

Sejarah Asal Usul Tari Guel - Aceh - Cerita Rakyat Nusantara

Sejarah Asal Usul Tari Guel - Aceh - Cerita Rakyat Nusantara -  Salah satu cerita yang mungkin sudah tidak asing lagi bagi sebagian besar rakyat aceh, kisah cerita ini menjelaskan tentang asal dan sejarah tari Guel khas daerah Aceh, berikut ceritanya:

Tersebutlah dua bersaudara putra Sultan Johor, Malaysia. Mereka adalah Muria dan Sengede. Suatu hari, kakak beradik itu meng​gem​​bala itik di tepi laut sambil bermain layang-layang. Tiba-tiba datang badai dah​​​​​​​​syat sehingga benang layang-layang mereka pun putus. Sekuat tenaga mereka mengejar layang-layang ter​sebut. Mere​ka lupa bahwa pada saat itu me​reka sedang menggembala itik, hingga itiknya pun pergi entah ke mana. Setelah gagal menemukan layang-layang mereka, barulah mereka teringat akan itik-itik mereka. Tetapi malang, itik-itik itu tak lagi nampak. Mereka pun pulang dengan ketakutan akan mendapat marah dari orangtua mereka.

Benar juga apa yang mereka pikir​kan. Setiba di rumah, mereka dimarahi ayah mereka. Mereka juga disuruh mencari itik-itik itu, dan tak diizinkan kembali sebelum itik-itik yang hilang itu ditemukan kembali. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan mereka berjalan mencari itik mereka, tapi tak membawa hasil hingga akhirnya mereka tiba di Kampung Serule. Dengan tubuh yang lunglai mereka menuju ke sebuah mushola dan tertidur lelap. Pagi hari​​nya mereka ditemukan oleh orang kam​pung dan dibawa menghadap ke istana Raja Serule. Di luar dugaan, mereka malah di​angkat anak oleh baginda raja.

Beberapa waktu berlalu, rakyat Seru​le hidup makmur, aman, dan sentosa. Hal ini di​karenakan oleh kesaktian kedua anak tersebut. Kemakmuran rakyat Serule itu membuat Raja Linge iri dan gusar, se​hing​ga meng​​ancam akan membunuh kedua anak ter​sebut. Malang bagi Muria, ia ber​hasil di​​bunuh dan di​makamkan di tepi Sungai Samarkilang, Aceh Tenggara.

Pada suatu saat, raja-raja kecil ber​kumpul di istana Sultan Aceh di Kutaraja. Raja-raja kecil itu mempersembahkan cap usur, semacam upeti kepada Sultan Aceh. Saat itu, Cik Serule datang bersama Sangede. Saat itu, Raja Linge juga hadir. Saat Raja Serule masuk ke istana, Sangede menung​gu di halaman istana. Sambil menunggu ayah angkatnya, Sangede menggambar seekor gajah yang ber​warna putih.

Rupanya lukisan Sangede ini menarik perhatian Putri Sultan yang ke​mu​di​an meminta Sultan mencarikan se​ekor ga​jah putih seperti yang digambar oleh Sangede. Sangede kemudian menceritakan bah​wa gajah putih itu berada di daerah Gayo, pa​dahal dia sebenarnya belum per​nah melihatnya. Maka, saat itu juga Sultan memerintahkan Raja Serule dan Raja Linge untuk menangkap gajah putih tersebut gu​na dipersembahkan kepada Sultan. 

Raja Se​ru​le dan Raja Linge benar-benar kebi​ngu​ng​​an, bagaimana mungkin mencari se ​suatu yang belum pernah dilihatnya. Sangede menyesal karena bercerita bahwa gajah putih itu ada di Gayo hingga ayah angkatnya mendapat tugas mencari​nya. Dalam kebingungan itu, suatu malam Sangede bermimpi bertemu dengan Muria yang memberitahu bahwa gajah putih itu berada di Samarkilang, dan sebenarnya ga​jah putih itu adalah dirinya yang menjel​ma saat dibunuh oleh Raja Linge.

Pagi harinya, Sangede dan Raja Seru​le yang bergelar Muyang Kaya pergi ke Samarkilang seperti perintah dalam mimpi Sangede. Benar juga, setelah beberapa sa​​at mencari, mereka berdua menemukan ga​​jah putih itu sedang berkubang di ping​gir​​an sungai. Sangede dan Raja Serule Muyang Kaya kemudian dengan hati-hati mengenakan tali di tubuh gajah yang nampak pe​nurut itu. Tetapi saat akan dihela, gajah pu​tih itu lari sekuat tenaga. Raja Serule dan Sangede tak mampu menahannya. Mereka ha​nya bisa mengejarnya hingga suatu saat ga​j​ah itu berhenti di dekat kuburan Muria di Samarkilang. Anehnya, gajah putih itu berhenti seperti sebongkah batu. Tak bergerak sedikit pun meski Sangede dan Raja Serule men​coba menghelanya. Berbagai cara dicoba oleh Sangede agar gajah putih itu mau beranjak dan menuruti perintahnya untuk diajak pergi ke istana Kutaraja. 

Tetapi, se​mua​nya sia-sia. Sangede kehabisan akal. Akhirnya, dia bernyanyi-nyanyi untuk menarik perhatian gajah putih. Sambil bernyanyi, Sangede meliuk-liukkan tubuhnya. Raja Serule ikut-ikutan menari bersama Sangede di depan gajah putih agar mau bangkit dan menuruti perintahnya. Di luar dugaan, gajah putih itu ter​tarik juga oleh gerakan-gerakan Sa​nge​​de, dan kemudian bangkit. Sangede te​rus menari sambil berjalan agar gajah itu meng​ikuti langkahnya. Akhirnya, gajah itu pun meng​ikuti Sangede yang terus menari hingga ke istana. Tarian itu disebutnya tarian Guel hingga sekarang.

Sangede menyadari bahwa sesuatu ajakan kepada seseorang atau kepada binatang sekalipun tidaklah harus dengan cara yang kasar. Dengan sebuah tarian pun akhirnya gajah putih itu menuruti ajakannya.

Baca cerita rakyat lainya yang pastinya menarik untuk dibaca.

Kisah Sedih Seekor Kupu-kupu - Cerita Sedih

Kisah Sedih Seekor Kupu-kupu - Cerita Sedih, Pada cerita kali ini saya akan berbagi cerita cinta sedih yang mungkin bisa menyentuh hati anda sekalian. Cerita sedih ini menggingatkan kita tentang apa arti cinta yang sesungguhnya. Selamat membaca
 
Di sebuah kota kecil yang tenang &  indah, ada sepasang pria & wanita 
yang saling mencintai. Mereka selalu bersama memandang matahari terbit 
di puncak gunung, bersama di pesisir pantai menghantar matahari senja. 
Setiap orang yang bertemu dengan mereka tdk bisa tidak akan menghantar 
dengan pandangan kagum & doa bahagia. Mereka saling mengasihi satu sama lain
Namun pd suatu hari, malang sang lelaki mengalami luka berat akibat sebuah 
kecelakaan. Ia berbaring di atas ranjang pasien beberapa malam tdk sadarkan
diri di rumah sakit. Siang hari sang wanita menjaga di depan ranjang & dgn
tiada  henti memanggil2 kekasih yg tdk sadar sedikitpun.

Malamnya ia ke gereja kecil di  kota tsb & tak lupa berdoa kepada Tuhan agar
kekasihnya selamat. Air matanya sendiri hampir kering krn menangis
sepanjang hari. 
  
Seminggu telah  berlalu, sang lelaki tetap pingsan tertidur spt dulu,
sedangkan si wanita telah berubah menjadi pucat pasi & lesu tdk terkira, 
namun ia tetap dgn susah payah bertahan & akhirnya
pd suatu hari Tuhan terharu oleh keadaan wanita yg setia  & teguh itu,
lalu Ia memutuskan memberikan kpd wanita itu sebuah pengecualian kpd
dirinya. Tuhan bertanya kpdnya "Apakah kamu benar2 bersedia 
menggunakan nyawamu sendiri utk menukarnya?" . Si  wanita tanpa 
ragu sedikitpun menjawab "Ya".

Tuhan berkata "Baiklah, Aku bisa  segera membuat kekasihmu sembuh kembali,
namun kamu hrs berjanji menjelma menjadi kupu2 selama 3 thn. Pertukaran spt
ini apakah kamu juga bersedia?". Si wanita  terharu setelah mendengarnya &
dgn jawaban yg pasti menjawab "saya bersedia!".

Hari telah terang. Si wanita telah mjd seekor kupu2 yg indah. Ia  mohon diri
pd Tuhan lalu segera kembali ke rumah sakit. Hasilnya, lelaki itu benar2
telah siuman bahkan ia sedang berbicara dgn seorg dokter.
Namun sayang,  ia tdk dpt mendengarnya sebab ia tak bisa masuk ke ruang itu.

Dgn di sekati oleh  kaca, ia hanya bisa memandang dr jauh kekasihnya sendiri
Bbrp hari kemudian,  sang lelaki telah sembuh. Namun ia sama sekali tdk bahagia.
Ia mencari keberadaan sang wanita pd setiap org yg lewat, namun tdk ada yg
tahu sebenarnya  sang wanita telah pergi kemana.
Sang lelaki sepanjang hari tdk makan & istirahat terus mencari. Ia begitu
rindu kpdnya, begitu inginnya bertemu dgn sang kekasih, namun sang wanita yg
telah berubah mjd kupu2 bukankah setiap saat selalu berputar di sampingnya ? 
hanya saja ia tdk bisa berteriak, tdk bisa memeluk. Ia hanya bisa 
memandangnya secara diam2. Musim panas telah berakhir,  angin musim gugur yg
sejuk meniup jatuh daun pepohonan. Kupu2 mau tdk mau hrs meninggalkan tempat
tsb lalu terakhir kali ia terbang & hinggap di atas bahu  sang lelaki.

Ia bermaksud menggunakan sayapnya yg  kecil halus membelai wajahnya,
menggunakan mulutnya yg kecil lembut mencium keningnya. 
Namun tubuhnya yg kecil & lemah benar2 tdk boleh di ketahui olehnya, 
sebuah gelombang suara tangisan yg sedih hanya dpt di dengar oleh kupu2 itu sendiri & 
mau tdk mau dgn berat hati ia meninggalkan kekasihnya, terbang  ke arah yg jauh 
dgn membawa harapan.
  
Dlm sekejap telah tiba musim semi yg kedua, sang kupu2 dgn tdk sabarnya
segera terbang kembali mencari kekasihnya yg lama di tinggalkannya. 

Namun di samping bayangan yg tak asing lagi ternyata telah berdiri seorg
wanita cantik. Dlm sekilas itu sang kupu2 nyaris jatuh dr angkasa.
Ia benar2 tdk percaya dgn pemandangan di depan matanya sendiri.
Lebih tdk percaya lagi dgn omongan yg di bicarakan banyak org. Orang2 selalu
menceritakan  ketika hari natal, betapa parah sakit sang lelaki. Melukiskan
betapa baik dan manisnya dokter wanita itu. 
Bahkan melukiskan betapa sudah sewajarnya percintaan mereka 
& tentu saja juga melukiskan bahwa sang lelaki sudah bahagia spt dulu kala . 
  
Sang kupu2 sangat sedih. Bbrp hari berikutnya ia seringkali melihat
kekasihnya sendiri membawa wanita itu ke gunung memandang matahari terbit,  
menghantar matahari senja di pesisir pantai.
Segala yg pernah di milikinya dahulu dlm sekejap tokoh utamanya telah
berganti seorg wanita lain sedangkan ia sendiri selain kadangkala bisa
hinggap di atas bahunya, namun tdk dpt berbuat apa2.

Musim panas tahun ini sgt panjang, sang kupu2 setiap hari terbang rendah
dgn tersiksa & ia sudah tdk memiliki keberanian lagi utk mendekati
kekasihnya sendiri. Bisikan suara antara ia dgn wanita itu, ia & suara tawa
bahagianya sudah cukup membuat hembusan napas dirinya berakhir, 
karenanya sebelum musim panas berakhir, sang kupu2 telah terbang berlalu. 
Bunga bersemi & layu. Bunga layu & bersemi lagi. Bagi seekor kupu2 waktu seolah2
hanya menandakan semua ini. 

Musim panas pd tahun ketiga, sang kupu2 sudah tdk sering lagi pergi
mengunjungi kekasihnya sendiri. Sang lelaki bekas kekasihnya itu mendekap
perlahan bahu si wanita, mencium lembut wajah wanitanya sendiri. 
Sama sekali tdk punya waktu memperhatikan seekor  kupu2 yg
hancur hatinya apalagi mengingat masa lalu. 

Tiga tahun perjanjian Tuhan dgn sang kupu2 sudah akan segera
berakhir & pd saat hari yg terakhir, kekasih si kupu2
melaksanakan pernikahan dgn wanita itu. 
  
Dlm kapel kecil telah dipenuhi org2. Sang kupu2 secara  diam2
masuk ke  dalam & hinggap perlahan di atas pundak Tuhan. 
Ia mendengarkan sang  kekasih yg berada dibawah berikrar di hadapan Tuhan
dgn mengatakan "saya bersedia menikah dengannya!".
Ia memandangi sang kekasih memakaikan cincin ke
tangan wanita itu, kemudian memandangi mereka berciuman dgn
mesranya lalu  mengalirlah air mata sedih sang kupu2.

Dengan pedih hati Tuhan menarik  napas "Apakah kamu menyesal?". 
Sang kupu2 mengeringkan air matanya "Tidak". 
Tuhan lalu berkata di sertai seberkas kegembiraan "Besok kamu
sudah dpt kembali mjd dirimu sendiri". 
Sang kupu2 menggeleng-gelengkan kepalanya "Biarkanlah aku menjadi kupu2 seumur  hidup".

ADA BEBERAPA KEHILANGAN MERUPAKAN  TAKDIR. 
ADA BEBERAPA PERTEMUAN ADALAH YANG TIDAK AKAN BERAKHIR SELAMANYA.
MENCINTAI SESEORANG TIDAK MESTI HARUS MEMILIKI, NAMUN MEMILIKI SESEORANG
MAKA HARUS BAIK-BAIK MENCINTAINYA..

Baca kumpulan cerita sedih lainya terlengkap hanya di blog cerita.